Agustinus Adisoetjipto, Sang Pencetus Sekolah Penerbangan

adisoetjipto
Adisucipto (ejaan lama: Adisoetjipto), nama itu tampak terdengar familiar bukan?

Bagi Kawan GNFI yang berdomisili di Yogyakarta dan sekitarnya pasti langsung ngeh kalau nama itu dipakai untuk bandar udara (bandara).

Bandara Internasional Adisucipto, itulah namanya, letaknya berada di daerah Maguwoharjo, sebelah timur dari pusat kota Yogyakarta. Nama tokoh Adisucipto yang dipakai untuk bandara tersebut menyimpan kisah sejarah pada masa awal kemerdekaan Republik Indonesia. Adisucipto, ia adalah pahlawan kedirgantaraan tanah air ketika agresi militer pertama Belanda berkecamuk di bumi Jawa.

Adisoetjipto bergelar pahlawan nasional yang kemudian kerap kali dijuluki Bapak Penerbang Indonesia. Peranannya vital ketika kesatuan militer angkatan udara saat Indonesia baru terbentuk. Lika-liku kehidupan dan kepribadiannya menarik, sehingga namanya disegani di kesatuannya. Hanya saja sayang, Adisucipto wafat pada usia muda saat melakoni misi kemanusiaan dari atas udara.

Pertanda Takdir dari Eyang
Adisucipto lahir di Salatiga, Jawa Tengah, dari pasangan Pius Roewidodarmo dan R. Ng. Latifatun Pada 4 Juli 1916 (sumber lain menyebut 3 Juli 1916). Sang ayah, Roewidodarmo, adalah seorang terpelajar yang merupakan lulusan Kolese Xaverius yang kemudian menjadi guru di Salatiga. Selain menjadi guru, ayah Adisucipto juga berprofesi sebagai school opzienier (penilik sekolah) yang harus berkeliling ke kota-kota pendidikan.


Bak kisah wayang Pandawa, Roewidodarmo dan Lafitatun dikaruniai lima orang putra. Adisucipto merupakan anak tertua disusul Yohanes Sugondo, Ignatius Adisuyoso, Aloysius Sudaryono, dan si bontot ialah Yohanes Sadewo Sarwondo.

Roewidodarmo memberinya nama Adisucipto karena berharap kelak sang anak akan menjadi orang baik, luhur, dan berguna bagi nusa dan bangsa. Ketika dibaptis di Gereja Katolik Santo Paulus Miki, Salatiga, Adisucipto mendapat nama baptis, Agustinus. Jadilah namanya Agustinus Adisucipto.

Adisucipto juga mendapatkan nama dari sang eyang dari pihak ayahnya, Mbah Wirjo, yang berasal dari Wonosari, Magelang. Mbah Wirjo yang sudah sepuh saat itu adalah seorang keturunan empu sakti dan pengikut Pangeran Diponegoro dari Manoreh. Setelah bertanya siapa nama bayi itu, Mbah Wirjo memberikan tambahan nama bagi si kecil Adisucipto.

Cita-cita Terbang Sempat Terganjal Tuntutan Orang Tua

Adisucipto mulai sekolah Hollandsche Inlandsche School (HIS, setara Sekolah Dasar) Katolik Muntilan pada pertengahan tahun 1920-an. Setelah lulus pada 1929, ia melanjutkan sekolah ke Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO, setara Sekolah Menengah Pertama) Katolik St. Louis Ambarawa.

Uniknya di sana ia satu kelas dengan adiknya, Yohanes Sugondo. Hal ini terjadi karena berkat kepintarannya Sugondo bisa sekolah di Europeesche Lagere School (ELS) yang biasa diisi anak-anak Eropa, keturunan, dan bangsawan pribumi. Siswa lulusan ELS bisa langsung masuk MULO tanpa kelas penduhuluan. Akibatnya kakak-beradik ini bisa satu kelas dan tinggal di asrama yang sama.

Menonjol berkat kepandaiannya, direktur sekolah MULO kemudian menyarankan pada ayah Adisucipto agar memasukkan si sulung ke sekolah kedokteran. Saat itu masuk sekolah kedokteran dari MULO diperbolehkan. Namun, Adisucipto ngebet banget masuk ke Militaire Luchtvaart Opleidings School (MLOS), Sekolah Pendidikan Penerbang Militer Hindia Belanda di Kalijati, Jawa Barat. Sayangnya, sang ayah menolak keinginannya karena merasa tenang melihat anaknya menjadi dokter ketimbang penerbang. Jalan tengahnya Adisucipto lalu dimasukkan ke Algemene Middelbare School (AMS, setara Sekolah Menengah Atas) di Semarang.

Melahap banyak buku menjadi kebiasaan tokoh kemerdekaan Indonesia, tak terkecuali Adisucipto pada masa remajanya. Intelektualitasnya terasah karena kegemarannya membaca buku filsafat dan kemiliteran. Selain membaca buku ia juga senang berolahraga salah satunya olahraga catur. Kabarnya, Adisoetjipto pernah mengalahkan jago catur Salatiga karena kemahirannya itu.

Adisucipto bercita-cita menjadi penerbang maka dari itu ia membekali dirinya dengan membaca buku kemiliteran dan olahraga yang membuat badannya atletis. Angan-angannya menjadi penerbang kian liar sejak saat itu.

Setelah menamatkan AMS pada 1936, Adisucipto ingin sekali melanjutkan pendidikannya di Koninklijke Militaire Academi, Breda, Belanda. Pemerintah Hindia Belanda memang memberikan kesempatan bagi pemuda-pemuda Indonesia untuk mengikuti pendidikan penerbangan, tetapi dengan syarat yang sangat berat. Calon siswanya harus keluaran Akademi Militer di Breda, kemudian dididik selama kurang lebih satu setengah tahun. Oleh sebab itulah, mengapa Adisucipto bersikeras ingin melanjutkan sekolahnya ke Breda setelah lulus pendidikannya dari AMS.

Akan tetapi ayah dan ibunya tetap teguh dengan keputusannya. Adisucipto harus jadi dokter!

Ayahnya membujuk, ”Jadilah seorang dokter, Cip. Berilah contoh yang baik kepada adik-adikmu.”. Karena jalan buntu, maka Adisucipto mengikuti saran ayahnya dan kuliah di Genneskundige Hooge School (GHS, Sekolah Tinggi Kedokteran) di Batavia (Jakarta) pada 1939.

Karena tidak menaruh minat di bidang kedokteran, maka selama dua tahun mengikuti kuliah Adisucipto merasakan tidak ada kemajuan. Sepintar-pintarnya orang kalau bukan passion-nya pasti sulit menjalankannya, seperti itulah Adisucipto. Ketika menjalani perkuliahan, Adisucipto selalu ada mata kuliah yang harus ia ulang.

Suatu kebetulan baginya, ketika mengikuti kuliah di GHS itu, yang menjadi asisten dokter dalam mata kuliah ilmu faal (fisiologi) adalah Prof. Dr. Abdurrachman Saleh. Kemudian antara keduanya terjalinlah hubungan yang akrab.

Lewat Dr. Abdurrachman Saleh, Adisucipto mendapat informasi yang penting untuk memasuki Sekolah Penerbangan. Segera ia mengikuti latihan tes dan psikotes yang diberikan sendiri oleh Dr. Abdurrachman Saleh di lapangan terbang Cililitan yang sekarang dikenal dengan nama Lapangan Udara Halim Perdanakusuma.

Ketika kota Semarang dan Bandung dibuka Sekolah Penerbangan Militaire Luchtvaart School, Adisucipto segera mengajukan lamarannya tanpa setahu orang tuanya. Hanya saja karena lamarannya tidak disertai surat persetujuan dari orang tua, terpaksalah ia ditolak walaupun dalam ujian masuknya dinyatakan lulus.

Didorong oleh ketabahan, keuletan, serta sikap pantang menyerah dalam setiap cita-cita yang diinginkannya, maka Adisucipto mengajukan lamaran kembali pada tahun berikutnya. Kali ini ia dibantu teman-teman kampusnya mengirimkan tembusan kepada Residen di Semarang dan Asisten Residen di Salatiga. Seterimanya surat tembusan itu, Asisten Residen yang dikenal baik oleh ayahnya tadi, segera memanggil Roewido. Dalam pertemuan itu barulah sang ayah menyakini, bahwa putranya benar-benar tidak mau mundur dari cita-citanya itu.

Atas permintaan Asisten Residen dan demi kebahagiaan serta kemajuan putra sulungnya itu, akhirnya sang ayah mengizinkan juga. Segera ditandatanganilah surat pernyataan setuju, untuk melengkapi surat lamaran Adisutjipto ke Sekolah Penerbangan di Bandung.

Mencetuskan Sekolah Penerbangan

Kepedulian Adisucipto pada dunia kedirgantaraan Indonesia terlihat dengan dibukanya Sekolah Penerbangan Maguwo pada 15 November 1945. Adisucipto menjadi kepala sekolahnya dan merangkap sebagai chiefinstructor. Selain Adisucipto, juga terdapat dua infrastruktur lain yaitu Iswahyudi dan Imam Suwongso Wiryosaputro.

Sebelum sekolah itu diresmikan, Adisucipto sudah melakukan beberapa langkah agar menjaring calon penerbang muda Indonesia. Caranya ialah dengan menyiarkan pengumuman lewat radio dan surat kabar.

Salah satu pengumuman pembukaan sekolah penerbang tersebut tersiar dalam surat kabar Warta Indonesia terbitan 6 November 1945. Dalam surat kabar itu para calon peserta didik wajib lulusan MULO, Sekolah Menengah Tinggi (SMT), Sekolah Menengah, atau setara dengan kedua lembaga pendidikan tersebut. Untuk lulusan MULO dan SMT yang dites yakni bahasa Inggris, kimia, ilmu pasti dan pengetahuan umum, sementara untuk lulusan Sekolah Menengah yang dites yakni ilmu pasti (sains), pengetahuan umum, dan sejarah.

Sebanyak 28 orang diterima di Sekolah Penerbang Maguwo, 10 di antaranya telah mendapat pendidikan penerbangan. Sekolah ini belum memiliki gedung, sehingga pada awal-awal pendidikan pengajaran dilakukan di bawah pohon ceri atau kersen di bawah menara Pangkalan Udara Maguwo. Bahkan, seringkali praktik penerbangan merupakan percobaan-percobaan yang berisiko tinggi.

Berbekal kemauan keras dan semangat tinggi akhirnya proses pendidikan berjalan lancar. Pesawat Cureng bikinan tahun 1933 yang seharusnya tidak layak jalan itu mampu diterbangkan pilot pemula tempaan Adisucipto dan instruktur lainnya. Penerbang Inggris dari Royal Air Force (RAF) bahkan memuji keberanian menjurus kenekatan mereka dengan kalimat: ”You are flying a coffin (Kamu sedang menerbangkan peti mati)”.

Mendengar kalimat itu Adisucipto cuek saja. Kadet-kadet sekolah penerbang itu mencatat prestasi membanggakan. Bukan hanya mencatat zero accident, Suharnoko, Harbani, Sutarjo Sigit dan Mulyono bahkan berhasil mengebom tangsi-tangsi Belanda di Salatiga, Ambarawa dan Semarang.

Korban Insiden Pesawat Jatuh Dakota VT-CLA

Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI)—sekarang menjadi Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara (TNI-AU)—berduka. Pesawat Dakota dengan nomor registrasi VT-CLA jatuh di Sewon, Bantul, pada 29 April 1947. Tiga putra terbaik AURI ikut menjadi korban insiden itu, salah satunya ialah Adisucipto.

Dakota VT-CLA yang ditumpangi Adisoetjipto bukanlah pesawat tempur. Pesawat ini merupakan milik pengusaha India, Bijyananda Patnaik, teman dekat politisi India, Jawaharlal Nehru, yang saat itu menjabat Menteri Luar Negeri. Pemerintah Indonesia mencarter pesawat ini untuk misi kemanusiaan yaitu membawa obat-obatan dari Palang Merah Malaya di Singapura yang kemudian diserahkan kepada Palang Merah Indonesia (PMI). Obat-obatan itu rencananya akan didistribusikan untuk rakyat Indonesia yang terluka akibat agresi militer Belanda yang dimulai sejak 21 Juli 1947.


Angkatan udara Belanda gelap mata saat mengetahui ada pesawat akan mendarat di Pangkalan Udara Maguwo. Dua pesawat Kitty Hawk milik Belanda kemudian menyerang pesawat Dakota sampai terjatuh di daerah persawahan di perbatasan Desa Ngoto dan Wojo. Tidak ada bagian pesawat yang utuh kecuali ekor pesawat.

“Pesawat itu kemudian meledak dan patah menjadi dua. Semua penumpang tewas termasuk Pak Karbol (Adisucipto), Pak Abdulrahman Saleh, wing commander dari India dan Australia. Satu-satunya yang selamat adalah Pak Gani,” kenang salah seorang saksi mata musibah itu pada harian Kompas pada 1979.

Dari sembilan orang, terdapat delapan orang yang tewas dan satu orang saja yang selamat. Daftar kru korban tragedi ini adalah pilot asal Australia, Alexander Noel Constantine, kopilot asal Inggris Roy Lance Hazelhurst, juru mesin asal India, Bhida Ram, dan operator radio telekomunikasi Opsir Muda Udara II Adisumarmo Wiryokusumo, perwira AURI yang diperbantukan dalam penerbangan ini.

Setelah kejadian memilukan itu, tanggal 29 Juli selalu diperingati sebagai Hari Bakti TNI AU setiap tahunnya, baik oleh personil TNI AU yang aktif maupun yang sudah pensiun, bahkan oleh para pecinta penerbangan Indonesia.

Namanya Dikenang sebagai Bandar Udara

Agustinus Adisucipto mencapai kariernya dalam dunia kedirgantaraan dengan jabatan Marsekal Muda Anumerta. Usia Adisucipto saat itu masih 31 tahun. Setelah dinyatakan wafat, jenazahnya disemayamkan di pemakaman umum Kuncen I dan II.

Nama Adisucipto—yang memakai ejaan lama “Adisoetjipto“—masih dipakai untuk bandara internasional di daerah Maguwo yang melayani penerbangan komersil domestik dan internasional. Namun per tanggal 29 Maret 2020, Bandara Internasional Yogyakarta (YIA) di Temon, Kulon Progo, mengambil peranannya. Setelah pindah, Bandara Adisucipto hanya digunakan keberangkatan dan kedatangan pesawat baling-baling.

 

Facebook
Twitter
LinkedIn
Facebook
Twitter
LinkedIn

37 komentar untuk “Agustinus Adisoetjipto, Sang Pencetus Sekolah Penerbangan”

  1. There is definately a lot to find out about this topic. I really like all of the points you have made. Libbey ErvIn Camm

  2. I have been reading out some of your articles and i must say pretty clever stuff. I will make sure to bookmark your blog. Pearline Darrell Gay

  3. Fantastic beat ! I wish to apprentice while you amend your site, how can i subscribe for a blog website? The account aided me a acceptable deal. I had been a little bit acquainted of this your broadcast provided bright clear concept Zulema Ambrosi Stamata

  4. Good way of describing, and fastidious piece of writing to take information regarding my presentation focus, which i am going to deliver in university. Zuzana Cornell Mok

  5. Thank you for a wonderful in addition to informative post I truly appreciate all the effort that went into the creating. Stepha Fairfax Danette Ysabel Sollie Sosthena

  6. If some one wishes expert view about blogging and site-building afterthat i suggest him/her to go to see this website, Keep up the good work. Pierrette Felike Nertie

  7. I believe that is among the such a lot important info for me. And i am glad studying your article. But wanna commentary on some common issues, The web site taste is ideal, the articles is in reality excellent : D. Good process, cheers| Georgette Eldridge Jacquelynn

  8. Awesome post. I am a normal visitor of your website and appreciate you taking the time to maintain the nice site. I will be a frequent visitor for a really long time. Eleni Gaelan Brennan

  9. Wonderful beat ! I would like to apprentice while you amend your website, how can i subscribe for a blog website? The account helped me a acceptable deal. I had been a little bit acquainted of this your broadcast provided bright clear idea Brittan Hubie Isbella

  10. As I web-site possessor I believe the content matter here is rattling fantastic , appreciate it for your hard work. You should keep it up forever! Good Luck. Aindrea Billy Anstus

  11. A lovely cover and I enjoyed the synopsis and excerpt, this sounds like a must read for me. Thank you for sharing the book and author details. Dolley Benedetto Grethel

  12. Si enim ad populum me vocas, eum. An me, inquam, nisi te audire vellem, censes haec dicturum fuisse? Si qua in iis corrigere voluit, deteriora fecit. Nunc ita separantur, ut disiuncta sint, quo nihil potest esse perversius. Qui autem de summo bono dissentit de tota philosophiae ratione dissentit. Ergo, inquit, tibi Q. Sed potestne rerum maior esse dissensio? Erit enim instructus ad mortem contemnendam, ad exilium, ad ipsum etiam dolorem. Quaero igitur, quo modo hae tantae commendationes a natura profectae subito a sapientia relictae. Collette Heinrick Scornik

  13. Everything is very open with a precise clarification of the issues. It was really informative. Your website is very useful. Many thanks for sharing. Berny Raimundo Newcomer Cheslie Scarface Dachy

  14. Are you sure cards are traded? I thought they were expended during the game. You know the book better than I do, though. Nicolle Uriah Blaire

  15. Good way of explaining, and fastidious piece of writing to take information on the topic of my presentation subject, which i am going to convey in college. Floria Anselm Alves

  16. I definitely wanted to write a word to say thanks to you for all the magnificent strategies you are giving at this website. My time intensive internet lookup has at the end of the day been recognized with sensible insight to share with my best friends. I would assume that we visitors actually are undeniably fortunate to exist in a fine network with many special people with very beneficial strategies. I feel really lucky to have used your entire site and look forward to really more awesome times reading here. Thanks again for a lot of things. Kyrstin Dorey Michell

  17. Thanks for the auspicious writeup. It if truth be told was once a leisure account it. Glance complicated to more delivered agreeable from you! However, how could we be in contact?

Komentar ditutup.

Shopping cart0
There are no products in the cart!
Continue shopping
DISC 10%
Subscribe sekarang untuk mendapatkan kode kupon
Ikuti kami :
SUBSCRIBE